Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat Di Era Belanda


Kartini lahir di Mayong, Jepara pada 21 April 1879 dari pasangan Raden Mas Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah. Lahir dari keluarga priyayi, bagian depan nama Kartini pun ditambahkan Raden Ajeng (R.A).

Sosroningrat merupakan Pangeran Ario (P.A) Tjondronegoro IV yang merupakan Bupati Kudus. Sosroningrat memiliki delapan anak dari pernikahannya dengan Ngasirah di antaranya, Kartini dan adiknya, Raden Ajeng Kardinah yang begitu dekat dengannya.

Namun, Sosroningrat kembali menikah tahun 1875 dengan Raden Ajeng Woerjan atau Moerjam, putri Bupati Jepara kala itu. Karena anggota keluarga bangsawan, status Moerjam adalah istri utama atau garwa padmi.

Pernikahannya dengan Moerjam dikaruniai tiga anak perempuan, salah satunya Raden Ajeng Roekmini yang memiliki kedekatan dengan Kartini.

Sejak kecil, Kartini dikenal sebagai anak yang lincah dan aktif bergerak. Hal itu juga ia utarakan dalam suratnya kepada Estelle Zee-handelaar tanggal 18 Agustus 1899:

"Saya disebut kuda kore atau kuda liar. Karena saya jarang berjalan, tetapi selalu melompat atau melonjak-lonjak. Dan karena sesuatu dan lain hal lagi saya dimaki-maki juga sebab saya sering sekali tertawa terbahak-bahak dan memperlihatkan banyak gigi yang dinilai perbuatan tidak sopan" (Sutrisno, 2014:15).

Bahkan, ayah dan kakaknya pun memberikan gelar Trinil yang sering disebut "Nil". Trinil merupakan nama burung kicau yang kecil dan lincah.

Pada 1885 Kartini dimasukkan ke Sekolah Dasar Eropa atau Europesche Lagere School (ELS). Hal itu cukup bertentangan dengan tradisi kaum bangsawan yang melarang putrinya ke luar rumah.

Di ELS, Kartini menarik perhatian orang Eropa dengan kemampuan berbahasa Belandanya. Pengetahuan Kartini semakin bertambah.

Di usianya yang masih belia, dia sudah memahami pemikiran dan perjuangan pejuang wanita dari India, Pundita Rumambai. Hal itu diceritakannya kepada Nyonya Van Kol.

Kecakapan Kartini membuatnya bisa bergaul dengan pribumi dan orang dewasa dari Belanda. Kartini memiliki sahabat bernama Letsy Detmar, anak kepala sekolah.

Dia juga menjalin hubungan baik dengan istri asisten residen Jepara Nyonya Marie Ovink-Soer di lingkungan rumahnya.

Kartini selalu bersama Roekmini dan Kardinah sehingga disebut "Het Klaverblad" atau daun semanggi dan "Tiga Saudara" oleh Marie Ovink-Soer.

Awal 1892, Kartini yang belum genap 13 tahun lulus dari ELS dan harus menjalani pingitan yang sesuai dengan tradisi bangsawan. Padahal, dia ingin meneruskan pendidikannya ke HBS Semarang tetapi ditolak oleh ayahnya.

Masa pingitan selama empat tahun yang menyedihkan itu dijalaninya dengan membaca buku.

Bacaan yang disukainya adalah buku pengetahuan karena membuatnya lupa akan kesedihan hidup yang harus dijalani. Buku-buku tersebut akan terus dibaca dan dibuatkan catatan kecil yang berisi tema-tema bernilai penting.

Ayahnya dan kakaknya, R.M. Sosrokartono, menjadi orang yang bersedia memenuhi kebutuhan Kartini akan bahan bacaan.

R.A Soelastri, kakak perempuan tertua, akhirnya menikah dan membuat Kartini menempati posisinya di rumah tersebut. Roekmini dan Kardinah pun memasuki masa pingitan.

Kartini kembali merajut kebersamaan dengan Roekmini dan Kardinah selama masa pingitan. Hak Kartini untuk mengatur adik-adiknya dimanfaatkannya mengubah beberapa tradisi feodal.Adik-adik Kartini tidak lagi harus menyembah dirinya dan tidak wajib berbicara dengan bahasa Jawa krama inggil. Perubahan yang dilakukan oleh Kartini merupakan bentuk perombakan terhadap tradisi yang sudah mengakar kuat dalam kalangan bangsawan.

Meski demikian, Kartini tetap memberikan hormat kepada orang yang lebih tua sebagaimana lazimnya adat dalam kalangan bangsawan.

Sosok perjuangan Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat menjadi simbol emansipasi wanita. Tepat di hari kelahiran RA Kartini, Indonesia memperingati Hari Kartini sebagai bentuk apresiasi atau perjuangannya.

RA Kartini yang dikenal cerdas dan berwawasan luas ini diketahui sempat berkeinginan melanjutkan pendidikan di Belanda. Di penghujung usianya, Kartini juga mewujudkan salah satu cita-citanya yakni membangun sebuah sekolah di Rembang, atas dukungan sang suami.

Pahlawan Nasional Perempuan Indonesia ini memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan di Belanda, sebagai bentuk kemajuan berpikir dan keinginannya untuk melepaskan diri dari jeratan adat yang membatasi kaum perempuan di masa itu.

Sejak dipingit di usia 12 tahun, kemampuan bahasa Belanda RA Kartini terus terasah. Ia sering membaca dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, salah satunya bernama Rosa Abendanon. Dari bacaan Eropa dan surat-suratnya kepada Rosa, ketertarikan Kartini untuk berpikir maju seperti perempuan Eropa timbul.

Melalui suratnya kepada Nyonya Ovink Soer, tertulis bahwa dirinya ingin mencari beasiswa ke Belanda, "Kami mau mempelopori dan memberi penerangan, karenanya kami pertama-tama harus pergi ke Belanda untuk belajar. Bagi kami baik, kalau kami pergi. Ibu tercinta, tolong usahakan kami bisa pergi" Ingin Jadi Guru Setelah keinginan ke Belanda ditentang, Ibu Kartini mendapat kesempatan mengenyam pendidikan sebagai guru. Hal itu didukung dengan diumumkannya politik kolonial baru oleh pemerintah Belanda pada September 1901.

Dalam sidang parlemen, Ratu Wilhelmina memproklamasikan berlakunya politik etis dimana pemerintah harus menyejahterakan masyarakat Indonesia yang dijajah Belanda.

Secercah harapan muncul usai pada 8 Agustus 1900, Kabupaten Jepara dikunjungi J.H. Abendanon, yang kala itu menjabat sebagai Direktur Depertemen Pendidikan, kerajinan dan agama. Ia datang untuk menjelaskan rencana pendirian kostschool (sekolah asrama) untuk gadis-gadis bangsawan. Sayangnya hal itu ditolak oleh sebagian besar bupati dengan alasan aturan adat bangsawan yang melarang anak perempuan dididik di luar rumah.

"Selamat jalan impian hari depan yang keemasan! Sungguh, itu terlalu indah untuk menjadi kenyataan". demikian isi surat Kartini kepada sahabat penanya, Stella saat mengungkapkan kekecewaannya.

Ibu Kartini dan Roekmini, saudaranya, memutuskan untuk membuka sekolah untuk anak-anak gadis pada Juni 1903 di pendopo Kabupaten Jepara.

Murid-murid disana diajari berbagai keterampilan, seperti membaca, menulis, menggambar, tata krama, sopan-santun, memasak, serta membuat kerajinan tangan.